NII dan Pluralisme di Indonesia

Senin, 02 Mei 2011

Oleh : Faaza Fakhrunnas


"Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yangsesat. Karena itu barang siapa ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhultali yang amatkuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi MahaMengetahui"
(QS Al-Baqarah (2): 256)


Akhir-akhir ini banyak media informasi mengulas berbagai masam isu-isu hangat yang secara tidak langsung telah membentuk sebuah opini public di masyarakat Indonesia. Salah satu hal yang menarik perhatian saya adalah ketika isu mengenai pergerakan sebuah social movement,yang disebut-sebut sebagai Negara Islam Indonesia (NII).dan isu ini mengingatkan saya ketika masa SMA dimana secara tidak sadar saya hampir bergabung dengan organisasi ini. Ceritanya begini, waktu itu ada tawaran menarik dari teman saya di yang tergabung di OSIS untuk mengikuti traning Al Kahfi. Karena pada waktu itu saya penasaran dan ditambah dengan sedang semangat-semangatnya diri saya untuk mengikuti traning maka waktu itu sayapun memutuskan untuk ikut. Ketika mengikuti traning, perserta traning yang pada waktu itu sekitar 25 Orang disuguhi dengan materi-materi yang bersifat doktrinase yang untuk ukuran remaja yang duduk dibangku SMA snagatlah berat. Doktrin yang diberikan adalah doktrin yang sifatnya sabagai dasar namun esensial seperti mengenai keberadaan tuhan dan eksistensinya. Dan pada waktu itu saya pikir semua perserta yang hadir pada waktu itu berhasil terdoktrinase oleh trainer. Tidak hanya berhenti di kegiatan traning saja, pasca traning ada follow up yang harus di ikuti. Namun pada waktu itu sepertinya Allah menolong saya dengan menghadirkan rasa malas untuk mengikuti follow up yang diselenggarakan. Bebrapa waktu setelah itu, teman-teman saya yang mengikuti follow up yang diselenggarakan pasca traning, ternyata mengalami perubahan pola fikir yang sangat berbeda dari sebelumnya. Perubahan tersebut dianggap sebagai seseuatu yang tidak wajar dan aneh dan ternyata hal itu diamini oleh teman-teman saya yang lain. Mungkin itu hanya sedikit intermezzo dari pengalaman empiris yang saya alami, dan hal inilah yang melatarbelakangi ketertarikan saya menganai isu “NII dan Pluralisme di Indonesia “ yang akan saya bahas.

Secara hokum NII adalah sebuah organisasi yang berstatus ilegal. Namun dalam pola pergerakannya NII menggunkan organisasi-organisasi kantong yang legal seperti Al kahfi dan Ma’had Az-Zaytun. Al kahfi adalah organisasi yang secara badan hokum adalah organisasi yang legal dan dalam pola gerak yang dilakukan adalah lebih bersifat pendidikan pelatihan manusia. Lebih konkrit lagi, kegiatana yang dilakukan adalah semacam kegiatan- kegiatan pelatihan seperti traning, kajian-kajian rutin serta menjadi Pembina ataupun mentor di kegiatan kerohanian yang bersifat keislaman di sekolah-sekolah menengah. Sedangkan Ma’had Az-Zaytun adalah sebuah lembaga pendidikan pesantren berkelas Internasional yang sangat megah. Lembaga pendidikan pesantren Az- Zaytun mempunyai ribuan santri yang tidak hanya berasal dari Indonesia saja, namun dari berbagai negara seperti Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam, dan berapa negara lain di Asia. Lembaga Pendidikan ini berada di daerah Indramayau dan saat ini dipimpin oleh seorang alumni UIN Syarif Hidayatullah bernama Panji Gumilang.

Secara historis, NII di bentuk sebagai alat pemberontakan kepada Republik Indonesia sebagai bentuk ketidakpuasan atas sistem kenegaraan secara konstitusional yang di pimpin oleh Kartosuwiryo (1905-1962) di Jawa Barat. Sedangkan pemberontakan serupa juga dilakukan di berbagai daerah di Indonesia seperti di Aceh, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan.Pada waktu itu NII menganggap bahwa Indonesia masih terperangkap oleh Imperialisme barat dimana saat itu sedikit banyak Republik Indonesia masih bekerja sama dengan negara-negara barat baik dalam bidang ekonomi ataupun politik. Tujuan adanya NII sangatlah jelas, yaitu menjadikan Repubik Indonesia sebagai negara yang berlandaskan islam. Dimana syariat islam dijadikan sebagai hokum pokok dan dijadikan sebagai kontitusi negara dimana Al-Qur’an dan Al Hadist dijadikan sebagai landasan hokum tertinggi

Adanya NII sebagai bentuk pemberontakan yang dilakukan telah mencederai kedaulatan Republik Indonesia secara konstitusional sekaligus mencederai makna pluralisme kebangsaan yang telah dibangun sejak proklamsi dikumandangkan di ujung tahun 1945. Secara maknawi, pluralism adalah sebuah sikap untuk menghargai perbedaan pada tatanan budaya dan nilai-nilai social yang ada. Menurut Harvard University Project, memaknai keberagaman tidak hanya sekedar memahami dan menyadari adanya perbedaan, tetapi lebih dari itu, adanya keterlibatan energy antar perbedaan yang ada. Dalam hal ini, harus ada pemahaman secara aktif dalam memaknai perbedaan dan end point yang diharapkan adalah akan muncul tatanan masyarakat yang dialogis ditengah tatanan perbedaan yang sangat beragam. Harus diakui bahwa secara kebangsaan, Negara Indonesia tidaklah pernah ada. Adanya “ Bangsa Indonesia”. Di negara Indonesia hanya ada suku dayak, suku minang, suku badui, suku melayu, suku aztek dan lain sebagainya. Ada beragam kelompok masyarakat yang mempunyai tradisi, bahasa dan kebudayaan masing-masing. Namun ditengah perbedaan yang ada, satu kesadaran dalam sifat kefitrahan (Universal trait) manusia pun muncul bahwa semua orang mempunyai kedudukan yang sama dan secara sadar mereka juga mengingkan untuk bisa hidup berdampingan dan saling melengkapi. Dan hal inilah yang menjadi satu tujuan mereka sehingga pada tanggal 28 Oktober 1928 mereka pun berkumpul menjadi satu di satu waktu dan tempat yang sama untuk mengikrarkan berbangsa yang satu bangsa Indonesia, Berbahasa satu bahasa Indonesia dan bertanah air satu, tanah air Indonesia. Dan saat itulah Bangsa Indonesia hadir sebagai bangsa persatuan, ebuah kesatuan di tengah keberagaman untuk membentuk bangsa madani yang diimpikan.

Kesadaran untuk adanya keberagaman (Pluralisme) tidak hanya diikrarkan secara kolektif oleh seluruh elemen masyarakat yang tergabung dalam Bangsa Indonesia namun lebih dari itu, di bentuk dalam konstitusi dasar yang menjadi nilai supremasi yang universal bagi seluruh Bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Nilai pancasila adalah nilai luhur yang tidak bertentangan dengan satu bangsa Indonesia. Bahkan Din Syamsudin sebagai salah satu pemimpin salah satu umat terbesar di Indonesia menuturkan bahwa nilai-nilai yang ada dalam pancasila sudah sangat islam. Dan dalam dalam forum kerukunan umat beragama yang sebagai bentuk “persatuan” umat Bergama di Indonesia menyatakan bahwa Pancasila adalah sangat plural dan memuat nilai-nilai agama dalam dimensi social. Pancasila ada bukan untuk menyeragamkan berbagai maca suku, budaya, bangsa dan agama yang ada di Indonesia namun, Pancasila ada karena adanya keberagaman itu sendiri. Dan keberagaman itu sendiri sebenarnya adalah hikmah dari Allah swt dan merupakan ketentuan yang menjadi rahmat yang diberikan oleh Allah swt. Untuk itu perbedaan bukan untuk dipaksakan untuk menjadi sebuah keseragaman, tetapi keberagaman hadir untuk bisa saling membantu antar sesama.



“Hai manusia, sesungguhnya Aku menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnyaorang yang paling mulia diantarakamudisisi Allah ialahorang yang paling bertaqwa dianara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”
(Al Hujuraat [49]: 13)






Referensi
Materi Seminar “Pluralisme di Indonesia”, FIB UGM Maret 2011
Diakses dari berbagai sumber di Internet

0 komentar:

Posting Komentar