Pewarta dan Media, Sang Pembentuk Realita

Minggu, 24 April 2011

oleh : Faaza Fakhrunnas

Ada banyak media informasi –media informasi dalam bentuk berita- di Indonesia. baik melalui media komunikasi yang bersifat konvensional seperti Koran, ataupun media komunikasi yang sekarang telah menjadi sebuah kebutuhan kolektif, yaitu internet. Tidak seperti masa orde baru, media secara kekinian telah mengalami suatu revolusi berlandaskan “kebebasan” untuk menyampaikan dan mendapatkan informasi. Atau pelaku media sering menyebutnya sebagai “kebebasan pers”.  Pada dasarnya, seorang pewarta yang akan menyampaikan berita haruslah menjadi seseorang yang obyektif dan independen serta menyampaikan apa yang terjadi secara rill tanpa adanya campur tangan subyektif pewarta dalam proses pembuatan berita. Selain itu, dalam kode etik junalistik yang menjadi simbol tekstual independensi pewarta, juga memuat mengenai keberimbangan dalam pemberitaan yang akan disampaikan kepada pembaca berita. Dan juga, ada satu hal penting dan sangatlah urgen bagi seorang pewarta yang harus diperhatikan dalam pembuatan berita, yaitu Fairness Doctrine yang artinya adalah selalu menjunjung tinggi kejujuran, keadilan sertra kewajaran dalam pemberitaan. Mengenai kode etik jurnalistik, Fairness Doctrine dan hal-hal yang bersifat ideal dalam pembuatan berita oleh pewarta, angaplah itu semua sebagai “idealita”.

Menurut survey yang dilakukan oleh Dewan Pers Indonesia tahun 2008, menunjukan bahwa 80%  pewarta tidak membaca kode etik jurnalistik. Hal ini tentunya menjadi paradoks ketika seorang pewarta dituntut untuk selalu menjunjung tinggi kode etik jurnalistrik, namun justru belum pernah membaca kode etik yang harus dijunjung tinggi dan di perjuangkan dalam membuat suatu pemberitaan. Sehingga, bisa dikatakan “wajar” ketika banyak pewarta yang sering kali melanggar kode etik jurnalistik. Dan sangatlah mengherankan ketika pewarta tidak mengetahui idealita yang mereka harus tegakan dan perjuangkan.
Kembali lagi pada proses dimana idealita itu ada, seorang pewarta dalam menyampaikan berita haruslah sesuai dengan kejadian riil yang terjadi. Dalam hal ini, pewarta hanya dianggap sebagai penghubung antara realitas yang terjadi dengan pembaca realitas tersebut. Dan dalam hal ini harus ada satu keberimbangan dalam menyampaikan fakta yang ada. Berbeda dengan idealita yang ada, dalam pandangan teori konstruksionis, sangat sedikit pemberitaan yang terjadi sesuai dengan fakta yang ada. Atau bisa diartikan, ada subyektifitas  –walaupun hanya sedikit- yang tercampur dalam pembentukan pemberitaan. Teori ini beranggapan bahwa pewarta bukanlah robot atau alat transformator realitas yang terjadi kepada pembaca realitas.  Tetapi, pewarta adalah manusia yang mempunyai rasa, mempunyai opini tersendiri terhadap fakta yang ada dan mempunyai pola fikir yang tersendiri pula dengan realitas yang terjadi di lapangan. Dan setiap fakta itu terjadi, pasti subyektifitas itu akan ikut bercampur dengan realitas yang ada. Contohnya  saja, fakta yang terjadi  adalah suatu kondisi yang riil di Libya saat ini. Ketika seorang pewarta akan meliput hal tersebut, seorang pewarta sebelumya mempunyai hipotesis atau asumsi tertentu dengan fakta yang terjadi. Artinya ada suatu wacana yang hadir dalam benak pewarta dengan fakta itu, sebelum terjun ke realitas yang ada. Setiap pewarta mempunyai asumsi tersendiri terhadap realitas yang terjadi. Misanya saja ada pewarta A dan pewarta B. pewarta A beranggapan bahwa, keadaan yang terjadi saat ini di Libya adalah suatu keadaan dimana seorang kepala negara sedang mempertahankan negara yang di pimpinnya. Oleh karena itu, kepala negara tersebut harus mengatasi pemberontakan yang terjadi untuk menyelamatkan negaranya. Jika asumsi pewarta A seperti itu, maka dalam membuat pemberitaan, maka pewarta A akan mencari obyek atau sumber berita yang mendukung asumsinya tersebut. Dan jika fakta yang terjadi tidak sepenuhnya sesuai apa yang di asumsikan sebelumnya, dalam hal pewarta akan mencoba membungkus realita yang terjadi yang di bumbui oleh apa yang di asumsikan –walaupun hanya sedikit-.
Berbeda dengan pewarta A, Pewarta B menganggap bahwa relita yang terjadi di Libya adalah suatu kejahatan massal yang dilakukan oleh kepala negara terhadap rakyat yang jenuh di pimpin olehnya. Oleh karena itu, pewarta menganggap bahwa kepala negara tersebut telah melakukan kejahatan genoside dan kepala negara tersebut harus segar di berikan punishment agar di lain waktu tidak terjadi kejahatan massal yang dilakukan oleh kepala negara tersebut. Dalam membuat berita tentang fakta yang telah dicampuri oleh apa yang diasumsikan maka pewarta B akan melakukan hal yang sama dengan pewarta A. yaitu mencari atau memilih fakta-fakta yang terjadi sesuai dengan apa yang diasumsikan sebelumnya. Ketika pemberitaan yang dibuat oleh pewarta A dan pewarta B selesai dibuat lalu kemudian diterbitkan di surat kabar masing-masing secara massal, maka secara langsung pewarta tersebut telah “membentuk realitas” yang akan disampaikan kepada pembaca berita. Dalam hal ini, satu realitas rill telah membentuk dua pemaknaan dan dua “realitas” yang berbeda.
            Dalam teori komunikasi klasik, Kosep terjadinya komunikasi diawali dengan adanya pesan yang akan disampaikan oleh seorang komunikator. Saat komunikasi itu akan terjadi, seorang komunikator yang akan menyampaikan pesan harus terlebih dahulu paham dengan apa yang ingin di sampaikan kepada komunikan (penerima pesan). Setelah komunikator memahami  apa yang ingin disampaikan, barulah pesan itu dikirim kepada komunikan dengan satu media komunikasi yang sama. Dalam teori komunikasi klasik, ada atau tidaknya feed back yang diberikan oleh komunikan kepada komunikator tidak dianggap urgen (mirror of reality). proses linear atau juga bisa dikatakan proses secara integral dari seorang komunikator kepada komunikan. Berbeda dengan teori komunikasi klasik, teori komunikasi kontruksionis menghendaki adanya feed back yang harus diberikan oleh seorang komunikan kepada komunikator. Jika kita kaitkan dengan proses pembentukan berita, realitas dibentuk oleh pewarta  akan disampaikan kepada pembaca.dalam hal ini  komunikator mengirim realitas yang telah terkonstruksi (pesan)  kepada komunikan. Ketika komunikan membaca pesan yang disampaikan oleh komunikator maka akan timbul suatu pemaknaan (Feed back) yang dilakukan oleh komunikan terhadap pesan yang telah diterima. Sehingga, mindset yang terbangun dari realitas yang disajikan dalam bentuk berita sedikit banyak akan mengalami pemaknaan tunggal dengan apa yang diberitakan. Disinilah pewarta dan media informasi membentuk suatu realitas.
Pewarta dan media sebagai pembentuk realitas adalah suatu fakta integritas yang terjadi dalam dunia jurnalistik. Tentunya hal tersebut tidak terlepas dari suatu kepentingan, baik itu kepentingan secara politis, kepentingan ekonomi, kepentingan sosial – budaya atau bahkan hanya ingin membumbui realitas yang ada agar mempunyai pemaknaan tunggal yang sama. Oleh karena itu, semboyan jurnalis yang megatasnamakan independensi dan obyektivitas sebagai panglima tertinggi secara riil tidak akan pernah terjadi dan hal tersebut hanyalah sebatas fatamorgana. Karena semua fakta yang diberitakan terkadang tidak berdiri sendiri, tetapi dibarengi dengan intervensi.

Referensi dan rujukan
Eriyanto. Analisis framing.Yogyakarta :Lkis,2002
Suhartini.Sejarah praktik dan pemikiran manajemen.yogyakarta:Amanah,2010

2 komentar:

LIFE EXCELLENCE mengatakan...

mantabz abiz ah agan..
teruslah BERKARYA!!

Anonim mengatakan...

Pernah mendengar bahwa seorang pembaca menggemari tulisan seorang penulis maupun jurnalis dari subyektifitasnya.

Kalau seorang penulis atau seorang jurnalis tidak mampu menghadirkan subyektifitasnya, bagaimana mungkin dia mampu mempunyai sebuah ciri khas?

Ciri khas adalah amunisi utama dari seorang penulis maupun jurnalis. Karena seperti ada perspektif pembeda yang tidak dimiliki oleh orang lain.

Bahwa menurut anda seorang penulis harus selalu obyektif, saya kurang sependapat :D

CMIIW :D

Posting Komentar